Bisnis Indonesia, dalam rangka HUT ke-25, menampilkan sejumlah tokoh bisnis yang inspiratif. Tulisan kali ini tentang Chairul Tanjung, pendiri Para Group (kini CT Corporation).
Chairul Tanjung membuat langkah mengejutkan ketika mengambil alih Carrefour Indonesia, salah satu raksasa ritel asal Prancis. Ia menjadi single majority di perusahaan itu. "Bangsa ini harus bangkit dunia usahanya. Jangan sampai bangsa ini dibeli terus, menjual [aset] terus, lama-lama habis [aset] kita," tuturnya kepada Bisnis di kantornya, Menara Bank Mega, sehari sebelum akuisisi itu diumumkan.
Maka, mengalirlah cerita Chairul, soal jatuh-bangun bisnisnya, klarifikasi keterlibatan Grup Salim, hingga strategi dan filosofi bisnis dan kehidupannya. Berikut sebagian kutipan cerita pengusaha itu.
Kok masuk bisnis ritel, padahal margin ritel kabarnya sangat kecil?
Carrefour ini kan powerhouse. Orang punya tanah di ujung dunia sana, taruh saja Carrefour di tengah, gak lama jadi perumahan. Bayangkan. Jadi ini beyond. Kita membeli jaringan bisnis dan jaringan distribusi... Demi Allah, saya ambil Carrefour niatnya baik, yang pasti untuk bangsa ini. I will do everythings untuk make sure bahwa [Carrefour] ini bisa jadi alat saya untuk membuat bangsa ini lebih baik.
Model kepemilikan dan pendanaannya?
Ini PMA, tetapi perusahaan Indonesia. Ini the first in the world yang dilakukan Carrefour. Makanya, ini jadi titik balik; [pengusaha nasional] mengambil alih perusahaan multinasional.
Kita dapat pinjaman US$350 juta dari Credit Suisse, Citibank, ING dan JP Morgan. Saya transparan, ini bukan transaksi henky penky. Mereka tawarin untuk ambil, tapi mereka kasih pinjam uangnya untuk beli itu. Saya bilang sama tim saya, eh kalau elu begitu, habis...
Ketika beli Carrefour, apakah itu bagian dari grand strategy bisnis ritel dari awal?
Saya percaya bisnis saya ini melalui mekanisme Tuhan. Saya mulai dari nol, dari bisnis informal untuk biaya sekolah saya sendiri, mulai dari CV, PT, semua pernah saya kerjain. Tak ada yang by design. Semua itu mulai dari visi yang selalu berubah, berubah dan berubah. Nah, baru beberapa tahun terakhir ini mulai terlihat, ternyata kita bisa konsentrasi hanya pada bidang-bidang ini saja, yang kolaborasinya akan luar biasa dan satu sama lain akan bersinergi.
Jadi proses itu by nature, bukan by design. Saya ini sudah diberikan segala sesuatu, yang mikir pun tidak, bisa dapat seperti ini. Artinya apa, Tuhan punya skenario tertentu buat saya. Jadi saya declare, siap menjadi prajurit Anda [Tuhan]....Whatever you have to decide withme, whatever you instruct to me, saya akan laksanakan dengan keikhlasan saya.....
Sebelumnya, Anda membangun bisnis media melalui Trans TV lalu Trans 7?
(Chairul bercerita asal mula mau membeli Lativi, kemudian jatuh pada pilihan membeli TV-7 yang diubah menjadi Trans-7).
Semua rezeki itu dari Tuhan. Nggak usah ngotot, bahwa at all cost harus dapet, harus dapet. Saya nggak pernah begitu.
Bagaimana dengan sikap pemberitaan?
Alhamdulillah. Saya mencari uang dengan tidak merusak, tetapi dengan membangun. Saya bilang begini ke teman-teman jurnalis, kalau kita tidak membuat bangsa ini menjadi lebih baik, kita berdosa.
Satu kali, di Palembang sama Hatta [Menko Perekonomian Hatta Radjasa], kita satu hotel, seberang-seberangan kamar. Ketika keluar hotel mau turun seminar malam [acara PWI], dia bilang, Rul, kebayang nggak ada investor datang ke Indonesia, datang sore, check-in, keluar sebentar makan, lalu kembali ke kamar lagi, sebelum tidur setel TV. Lalu lihat orang dibacok, kantor polisi dibakar, parlemen berantem. Saya yakin tuh, rapat investment besok pagi nggak jadi. Dia langsung pulang lagi, pakai pesawat pertama...
Kalau diminta pilih, idealisme atau bisnis dalam industri media?
Kalau idealisme tanpa bisnis, itu pelacur namanya. Kenapa ngomong idealisme, perut kosong, apa nggak jual idealisme untuk isi perut? Dan saya nggak bisa sendirian. Kita mesti bersama-sama, saling mendukung, tidak saling menjatuhkan.
Apakah visi CT Corp juga akan dibawa ke sana?
Pasti. Kita kan punya CT Corp. Kan Para Group ini sudah terlalu kuno. Para nanti nggak ada lagi. Jadinya CT Corp. Kita punya tiga holding company, Mega Corp untuk finansial, Trans Corp untuk media, lifestyle, ritel dan entertaintmen, CT Natural Resorcues untuk agro dan lain-lain. Tiga itu saja.
Di natural resources termasuk pertambangan?
Nggak. Kita tidak akan masuk mining. Kita berupaya untuk tidak masuk ke sektor mining. Bukan apa-apa, saya berusaha untuk tidak merusak alam. Semua masuk mining karena benefit luar biasa. Udahlah, jangan serakah. Nanti 20-30 tahun lagi [jangan-jangan] ada kejahatan baru, kejahatan lingkungan, yang sekarang kita lakukan tidak salah, nanti bisa jadi salah.
Jadi suburkanlah lahan, tanam-tanaman. Lama memang. Tahu nggak, sawit itu butuh 10 tahun untuk sampai menghasilkan. Di TV, saya dua tahun sudah selesai urusan.
Wah, di TV dua tahun sudah impas?
Betul. 2 tahun. Ini surprise.
Gimana bisa?
Saya ini orang operation, selalu di dalam. Pernah lihat saya datang di acara-acara yang tidak penting? Kerja gua rapat internal.
Bagaimana peran karyawan?
Saya pakai sistem insentif bonus. Ini kan bukan bisnis semua orang sama rata sama rasa. Kita punya sistem sharing. Kalau karyawan dapat target lebih, 50% dari kelebihan target itu milik karyawan.
Jadi Anda ciptakan best practices di industri TV?
Buat saya media sekarang ini is my business...it's my champion. Mereka (karyawan) kerja di sini memang orang gila kerja, luar biasa. Mereka very happy karena dapat penghargaan dari kerja keras mereka.
Siapa yang paling memengaruhi Anda?
Pemikiran. Saya banyak belajar dari sahabat dan orang-orang yang berhasil. Selalu, mentor saya, guru saya, orang-orang yang bertahap begitu. Kalau ketemu orang besar, pasti saya bertanya banyak. Ketemu kepala negara lain, pasti bertanya banyak. Ketemu CEO biggest multinational company, pasti ngobrol banyak. Saya ketemu CEO ING, dia bilang begini, ING adalah the bisggest property manager in the world. Kenapa? Karena punya insurance. Asuransi itu kan uangnya harus diinvestasikan. Makanya, saya mau belajar: how they manage. Waktu krisis global, saya ke Amerika tiga kali. Saya belajar banyak, di situ baru tahu bubble seperti apa, apa kesalahannya. Saya belajar risk management ke depan. Saya tak boleh mengulang kesalahan yang sama.
Kalau bisnis TV, belajar dari mana?
Saya selalu memakai akal sehat, common sense. Kesuksesan media kita karena keluar dari pakem yang ada. Kalau saya ngikutin pakem yang ada, habis...
Ini rumusannya: jangan business as usual. Biasanya, orang bisnis ABC, orang lain ikutin bisnis ABC. Kalau Anda lakukan itu, maka rumusannya cuma dua: how low can you go dan how long you can pay. Jadi kalau bersaing sama, maka harganya makin murah, makin murah dan lama-lama bangkrut.
Yang baik adalah bikin sesuatu, yang orang lain, bukan cuma bikin, tapi berpikir saja tidak. Bukannya TV adalah bleeding business?
Itu challenge saya. Waktu saya mau bikin Trans TV, semua teman dekat datang. Satu teman yang cukup disegani namanya TP Rachmat, he is my good friend...'Chaerul, jangan deh masuk ke bisnis itu'...'Lha kenapa, Pak Teddy?', kata saya. 'Ya sayang, Pak Chaerul kan punya masa depan, jangan deh, jangan masuk bisnis itu, nanti banknya bisa hilang karena TV-nya'. Tapi saya yakinkan, 'Pak Teddy, ini sudah jalan. Ini sudah point of no return, sudah gak bisa mundur'. Malah saya makin ter-challenge.
Kuncinya apa?
Rumusan itu tadi, bahwa business is not usual.
Tetapi ada kalanya tak mudah convince strategi baru. Ada saran untuk pebisnis baru?
Bisnis itu adalah proses. Perusahaan itu hanya bisa maju kalau dia punya the great vision. Dari vision, pemimpin hebat, governance, harus dibuat menjadi strategi yang bagus. Tapi ini semua hanya bisa jadi kalau punya kemampuan implementasi. Nah, implementasi ini butuh keuletan, kesabaran, passion.
Biografi
Lahir | Jakarta, 16 Juni 1962 |
Keluarga: Ayah | A.G. Tanjung |
Ibu | Halimah |
Istri | drg. Anita Ratnasari |
Anak | Putri Indahsari |
Pendidikan | Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia |
Kegiatan lain: | |
No comments:
Post a Comment